INFORMASI DETAIL PERKARA
Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2020/PN Mgl | HARTONO ALS CANDRA HARTONO BIN MUSLIM YUSUF | Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung Cq. Kepolisian Resort Tulang Bawang cq KASAT RESKRIM Kepolisian Resort Tulang Bawang | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 06 Mar. 2020 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2020/PN Mgl | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 06 Mar. 2020 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Dengan hormat, perkenankanlah kami:
Adhel Setiawan, SH; Abdur Rauf, SH; Budi Hermanto, SH; Hanifur Rifqi, SH; para Advokat dan Konsultan Hukum pada FORNAWANSYAH, SETIAWAN, ABDUR & ASSOCIATES (FSA) LAW OFFICE yang beralamat di GEDUNG DHD (GEDUNG JOANG 45) Lantai. 2 Jl. Menteng Raya No. 31, Kebon Sirih – Menteng, Jakarta Pusat – 10340---------------------------------------------------------
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 27 Februari 2020, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama HARTONO alias CHANDRA HARTONO bin MUSLIM YUSUF, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON PRAPERADILAN --------------------------;
----------------------------------------------------------- MELAWAN ----------------------------------------------------------
Kepala Kepolisian Republik Indonesia c.q Kepala Kepolisian Daerah Lampung c.q Kepala Kepolisan Resor Tulang Bawang c.q Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Tulang Bawang, yang beralamat di Jalan Lintas Timur Sumatera , Km 13, Tulang Bawang, Lebuh Dalem, Menggala Tim., Kabupaten Tulangbawang, Lampung 34682, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON PRAPERADILAN;
Untuk mengajukan Permohonan Praperadilan atas Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penahanan, dan/atau Penyitaan dalam dugaan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih sebagaimana dimaksud dalam pasal 363 ayat (1) ke 4e Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
Adapun yang menjadi alasan permohonan adalah sebagai berikut:
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia.
Bahwa menurut Andi Hamzah (1986:10), Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk kepada Hukum Internasional yang telah menjadi Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan/atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan berbarengan dengan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan juga dimaksudkan sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (Vide: Penjelasan pasal 80 KUHAP).
Bahwa berdasarkan pada nilai itulah, penyidik dan/atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka;
B. Bahwa sebagaimana diketahui, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa:
“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dalam:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
C. Bahwa selain itu, yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di antaranya adalah:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, atau penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
D. Bahwa dalam perkembangannya, pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 10 Juncto pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran Hak Asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara. Untuk mengantisipasi hal tersebut, berdasarkan perkembangan, Permohonan Praperadilan bisa menjangkau kepada penilaian terhadap sah atau tidaknya penetapan status Tersangka kepada seseorang. Perkembangan ini yang menurut Satjipto Rahardjo disebut sebagai Terobosan Hukum (legal-breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif), dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.
Bahwa terobosan itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan demikian, hukum bukan hanya berisi aspek normatif yang diukur dari kepastiannya, namun juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang terkini;
E. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan (yurisprudensi) yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut:
1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 38/Pid/Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012;
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
F. Bahwa sebagaimana diketahui, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10menyatakan Bahwa dalam praktiknya pengaturan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering kali tidak dapat menjangkau perlakuan penyidik yang nyata-nyata melanggar hak asasi seseorang, sehingga pihak yang dijadikan tersangka tidak memperoleh perlindungan hukum dari Negara.
Untuk itu mengenai sah tidaknya penetapan tersangka merupakan wewenang lembaga praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi perlakuan sewenang-wenang penyidik.
G. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti dalam kutipan putusan Mahkamah Konstitusi a quo sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian:
- Dst;
- Dst;
- Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981, Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
- Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981, Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
H. Bahwa dengan demikian jelas, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat, maka tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan tersebut sejak dibacakan dan diucapkan;
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A. PELAPOR DALAM PERKARA INI TIDAK MEMILIKI LEGAL STANDING SEBAGAI PELAPOR;
1. Bahwa Pelapor pada perkara ini adalah atas laporan Polisi Nomor LP/154/V/2017/POLDA LAMPUNG/RES TUBA, tanggal 19 Mei 2017 atas nama PT Huma Indah Mekar melalui ALI BASRI yang mengklaim bahwa lokasi dugaan tindak pidana pencurian terhadap bibit karet terletak di Divisi V blok E-10;
2. Bahwa PEMOHON Praperadilan menolak dengan tegas klaim tersebut, karena berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, yakni Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 04/Pdt.G/2007/PN.MGL jo Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 07/PDT/2009/PT.TK jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 3054 K/PDT/2010 jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor 276 PK/PDT/2012 dengan tegas dan nyata-nyata menyatakan bahwa tanah berikut tanam tumbuh yang ada di atasnya adalah milik masyarakat, bukan milik PT Huma Indah Mekar (HIM);
Putusan tersebut berbunyi:
- Putusan Kasasi Nomor 3054 K/PDT/2010 tanggal 30 Maret 2011:
MENGADILI SENDIRI
DALAM EKSEPSI:
- Menolak eksepsi Pihak Tergugat;
DALAM KONVENSI:
- Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan sah menurut hukum bahwa para penggugat adalah penerima hibah atas sebidang tanah perkebunan seluas ±150 Ha yang terletak di kampung Penumangan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang dengan batas-batas sebagai berikut:
-sebelah barat: Jalan raya masuk kampung penumangan;
- sebelah timur: rawa Ketiau;
- sebelah selatan: Gunung/Pegunungan wou Tarub;
- sebelah utara: rawa/umbul Tulung Balak;
- Menyatakan perbuatan para tergugat menguasai tanah sengketa/tanah hibah/tanah milik para penggugat (selaku penerima hibah) tersebut adalah perbuatan tanpa hak dan melawan hukum;
- Menghukum Para Tergugat menyerahkan tanah sengketa/tanah hibah/tanah milik para penggugat (selaku penerima hibah) tersebut berikut tanam tumbuh yang ada di atasnya kepada Para Penggugat dalam keadaan baik;
- Menghukum para Tergugat untuk membayar uang paksa kepada para penggugat sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) secara tanggung renteng setiap hari, apabila lalai memenuhi isi putusan, terhitung sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya;
DALAM REKONVENSI:
- Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonvensi;
- Menghukum Para TERMOHON Kasasi/Tergugat I, II, dan III, untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkatan peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah);
- Putusan PK Nomor 276 PK/PDT/2012 tertanggal 28 Februari 2013, yang amarnya berbunyi:
MENGADILI
- Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari PEMOHON Peninjauan Kembali: PT Huma Indah Mekar tersebut;
- Menghukum PEMOHON Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah);
3. Bahwa atas putusan Pengadilan tersebut di atas, pada tanggal 10 Agustus 2015, masyarakat mengajukan permohonan eksekusi dan Anmanning kepada Ketua Pengadilan Negeri Menggala, dan atas permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Menggala menyatakan mengabulkan tersebut;
4. Bahwa kemudian Ketua Pengadilan Negeri Menggala memerintahkanpelaksanaan Aanmanning ke 1 yang dijadwalkan pada hari Selasa, 15 Agustus 2015, dan Aanmanning ke 2 yang dijadwalkan pada hari Rabu, 30 September 2015 kepada PT Huma Indah Mekar agar menyerahkan tanah berikut tanam tumbuh yang ada di atasnya dengan sukarela kepada masyarakat (Penggugat), namun pihak PT Huma Indah Mekar tidak mengindahkan kedua Aanmanning tersebut;
5. Bahwa selanjutnya, masyarakat (Penggugat) mengajukan permohonan Sita Eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Menggala pada tanggal 30 September 2015, dan dikabulkan melalui Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Menggala Astea Bidarsari SH MH Nomor 04.Pdt.G/PN.MGL jo Nomor 07/PDT/2009/PT.TK jo Nomor 3054 K/PDT/2010 jo Nomor 276 PK/PDT/2012 tertanggal 1 Oktober 2015;
6. Bahwa pada tanggal 8 Oktober 2015, Pengadilan Negeri Menggala melalui Juru Sita Pengganti Jundy Eka Saputra, melakukan peletakan Sita Eksekusi terhadap tanah milik masyarakat a quo dan dihadiri oleh Kapolsek Tulang Bawang Tengah Kompol Sutana Yusuf, Kuasa Hukum Masyarakat Nurul Hidayah SH MH, Kuasa Hukum PT Huma Indah Mekar Ahmda Handoko, Plh Kepala Kampung Darmawan, dan Kepala Kantor BPN Tulang Bawang Wisnu Endarto;
Bahwa fakta-fakta hukum tersebut di atas dengan tegas menyatakan bahwa tanah dengan luas ±150 hektar berikut tanam tumbuh yang ada di atasnya (termasuk bibit yang disangkakan dicuri kepada PEMOHON Praperadilan) adalah milik masyarakat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrahct van gewisjde), dan bukan lagi milik PT Huma Indah Mekar;
Bahwa dengan demikian maka Laporan Polisi Nomor LP/154/V/2017/POLDA LAMPUNG/RES TUBA, tanggal 19 Mei 2017 atas nama PT Huma Indah Mekar melalui ALI BASRI nyata-nyata tanpa hak, karena dalam putusan a quo, PT Huma Indah Mekar dinyatakan melakukan perbuatan tanpa hak dan melawan hukum dalam menguasai tanah tersebut. Sungguh aneh dan rancu, Laporan Polisi dilakukan oleh orang yang tidak berhak/tidak memiliki legal standing dan sudah dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum;
Bahwa selain aspek tersebut, PEMOHON Praperadilan adalah penerima kuasa yang sah dari masyararakat pemilik tanah hibah tersebut berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 15 Februari 2015 yang oleh karenanya PEMOHON Praperadilan berwenang dan berhak untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan dan diperbolehkan secara hukum terhadap tanah hibah tersebut;
Bahwa dengan demikian, dikarenakan Pelapor (PT Huma Indah Mekar) tidak mempunyai kedudukan hukum sebagai pelapor dan PEMOHON Praperadilan adalah pemegang kuasa yang sah terhadap tanah hibah tersebut, maka penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan TERMOHON Praperadilan terhadap PEMOHON Praperadilan nyata-nyata adalah perbuatan sewenang-wenang dan menjurus kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia;
B. PEMOHONPRAPERADILAN TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA;
1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, menyatakan inkonstitusional terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang tidak dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP. Selain itu, pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, pengeledahan, dan penyitaan;
2. Bahwa putusan MK tersebut pada poin 1 di atas menegaskan bahwa frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka bertujuan untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, telah memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup tersebut;
4. Bahwa berdasarkan pada Putusan MK tersebut, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti seuai pasal 184 KUHAP serta harus disertai pemeriksaan calon tersangkanya;
5. Bahwa dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku Res Judicata (Putusan Hakim harus dianggap benar), serta putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh semua pihak, dalam hal ini TERMOHON Praperadilan;
Mengingat bahwa PEMOHON Praperadilan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, maka tindakan TERMOHON Praperadilan merupakan tindakan yang tidak sah, dan Penetapan status Tersangka kepada PEMOHON Praperadilan oleh TERMOHON Praperadilan harus dibatalkan;
C. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON PRAPERADILAN;
1. Bahwa sebagaimana diketahui baik oleh PEMOHON Praperadilan maupun TERMOHON Praperadilan, bahwa penetapan tersangka atas diri PEMOHON Praperadilan baru diketahui oleh PEMOHON Praperadilan saat terjadi Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan, yakni pada tanggal 17 Februari 2020 dengan Nomor SP.Kap/21/II/2020/Reskrim dan Nomor SP.Han/16/II/2020/RESKRIM;
2. Bahwa menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (halaman 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, Penyelidikan merupakan tindak tahap pertama permulaan dari Penyidikan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa Penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri atau terpisah dari fungsi Penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi Penyidikan. Dan menurut Pedoman Pelaksaan KUHAP sendiri, Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yakni tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada Penuntut Umum;
3. Bahwa Yahya harahap juga menyatakan, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dahulu Peyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut Penyidikan. Penyelidikan bisa disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
Bahwa dengan tidak adanya penyelidikan yang ditandai dengan adanya Surat Perintah Penyelidikan atas perkara a quo, maka sudah seharusnya proses Penyidikan dan tindakan-tindakan selanjutnya merupakan tindakan yang tidak sah dan cacat hukum, dan harus dibatalkan;
D. TINDAKAN TERMOHON PRAPERADILAN DALAM MENETAPKAN TERSANGKA, PENANGKAPAN, DAN PENAHANAN, TIDAK DIAWALI DENGAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) YANG SAH;
1. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 telah merubah ketentuan pasal 109 ayat (1) KUHAP menjadi: “Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
2. Bahwa hingga PEMOHON Praperadilan ditangkap dan ditahan oleh TERMOHON Praperadilan, PEMOHON Praperadilan selaku terlapor tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari TERMOHON Praperadilan;
3. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa setelah Surat Perintah Penyidikan (sprindik) terbit, akan diterbitkan pula Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
b. Waktu dimulainya penyidikan;
c. Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan, dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
d. Identitas tersangka;
e. Identitas pejabat yang menandatangani SPDP;
4. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 109 ayat (1) KUHAP, dapat disimpulkan sebagai surat penting yang dapat dilihat dalam 4 perspektif, yaitu Pelapor, Terlapor, Penuntut Umum, dan Penyidik, yaitu:
a. Dari perspektif pelapor, penerbitan SPDP menandakan bahwa laporan polisi yang dibuat oleh pelapor telah dimulai proses penyidikannya guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya;
b. Dari perspektif Terlapor, penerbitan SPDP menandakan suatu proses hukum atas suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai suatu tindak pidana sudah dimulai dan terlapor dapat mengupayakan pembelaan dengan mengajukan keterangan, bukti atau saksi untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana;
c. Dari perspektif Penuntut Umum, penerbitan SPDP adalah sarana komunikasi dari penyidik kepada penuntut umum untuk menginformasikan dimulainya suatu penyidikan dan sekaligus sebagai sarana pengawasan internal dari penuntut umum kepada penyidik, karena nantinya akan menjadi dasar untuk pembuatan surat dakwaan;
d. Dari perspektif penyidik, penerbitan SPDP menandakan dimulainya tugas penyidik untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau untuk menghentikannya nanti;
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, PEMOHON Praperadilan yang tidak menerima SPDP, adalah merupakan sebuah bentuk pelanggaran yang sangat fatal yang telah dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan. Oleh karenanya, sudah selayaknya Ketua Pengadilan Negeri Menggala Cq Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus Praperadilan ini mengabulkan Permohonan Praperadilan ini;
E. TERMOHON PRAPERADILAN TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHONPRAPERADILAN SEBAGAI TERSANGKA;
1. Bahwa berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, frasa “Bukti Permulaan”, frasa “Bukti Permulaan yang cukup”, dan frasa “Bukti yang cukup” dalam pasal 1 angka 14, pasal 17 dan pasal 21 ayat (1) KUHAP, oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHAP;
2. Bahwa, 2 (dua) unsur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP juga dibunyikan dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikanyang berbunyi :
“ Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”
3. Bahwa PEMOHON Praperadilan sangat MERAGUKAN terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh TERMOHON Praperadilan dalam hal menetapkan PEMOHON Praperadilan sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada PEMOHON Praperadilan, mengingat bahwa:
a. TERMOHON Praperadilan dalam menjalankan tugasnya sekurang-kurangnya tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang mengangkut atau memuat bibit karet seperti yang disangkakan kepada PEMOHON Praperadilan;
b. Bahwa TERMOHON Praperadilan tidak dapat menghadirkan barang bukti yang menentukan yang berkaitan dengan kendaraan atau sejenisnya yang dapat menegaskan bagaimana cara PEMOHON Praperadilan mengangkut/memindahkan bibit karet yang disangkakan oleh TERMOHON Praperadilan;
c. Bahwa TERMOHON Praperadilan tidak dapat menghadirkan barang bukti bibit karet sebanyak 1127 milik PEMOHON Praperadilan, melainkan TERMOHON Praperadilan hanya menghadirkan gambar/foto bibit, dan entah dari mana bibit tersebut berasal;
Dalam hal ini, dugaan rekayasa alat bukti menjadi sangat kuat diduga dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan. Dengan tidak cukupnya bukti yang dimiliki TERMOHON Praperadilan, maka sudah selayaknya Ketua Pengadilan Negeri Menggala Cq Majelis Hakim yang memeriksa Permohonan Praperadilan ini memerintahkan TERMOHON Praperadilan untuk segera menghentikan proses penyidikan perkara ini;
F. TERMOHON PRAPERADILAN TELAH SALAH MENERAPKAN PASAL TERHADAP PEMOHON PRAPERADILAN;
1. Bahwa pasal yang disangkakan kepada Pemohon Praperadilan adalah pasal 363 ayat (1) ke 4e Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni tentang Pencurian yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.
2. Bahwa perkara Pemohon Praperadilan ini diduga berkaitan dengan proses hukum yang juga dikenakan kepada Ahmad Andi Pratama S.Pd yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Menggala. Namun hingga saat Permohonan ini didafarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Menggala, Pemohon Praperadilan tidak pernah diperiksa dalam proses pemeriksaan pada perkara Ahmad Andi Pratama tesebut;
Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka unsur “Dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih” sebagaimana dalam pasal 363 ayat (1) ke 4e KUHP tidak terpenuhi. Maka sudah sepatutnya proses hukum yang dilakukan Termohon Praperadilan terhadap Pemohon Praperadilan harus dihentikan;
G. PEMOHON TIDAK DIDAMPINGI PENASEHAT HUKUM SAAT PEMERIKSAAN PERTAMA SEBAGAI TERSANGKA SETELAH DITANGKAP DAN DITAHAN;
Bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, Indonesia berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Lebih spesifik, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, hal ini ditandai dengan kewajiban menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan menjamin segala warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
Bahwa menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 (dua belas) prinsip negara hukum yaitu: 1). Supremasi hukum, 2). Persamaan dalam hukum (equalilty before the law), 3). Asas Legalitas, 4). Pembatasan Kekuasaan, 5). Organ-organ eksekutif yang bersifat independen, 6). Peradilan yang bebas dan tidak memihak, 7). Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), 8). Peradilan Konstitusi, 9). Perlindungan Hak Asasi Manusia, 10). Bersifat Demokratis, 11). Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan, 12). Transparan dan kontrol sosial;
Bahwa sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, Negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Salah satu jaminan konstitusional dalam hukum yang dimaksud ialah Hak Atas Bantuan Hukum.
Jaminan Konstitusional Hak Warga Negara atas Bantuan Hukum
Bahwa hak atas bantuan hukum merupakan hak asasi manusia. Hak tersebut tegas dijamin dalam Konstiutsi, Undang – Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28 D ayat1, yang menyatakan :
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
Bahwa jaminan konstitusional tersebut lalu diejawantahkan baik melalui undang-undang nasional maupun internasional yang sudah diratifikasi/disahkan Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 18 ayat4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang mengesahkan Kovenan Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang pada intinya dan/atau pokoknya menyatakan, “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”;
Bahwa berdasarkan hal ini, sudah sangt jelas bahwa bantuan hukum merupakan hak setiap orang yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Hak Atas Bantuan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bahwa Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan aturan-aturan yang mengatur bagaimana prosedur pemeriksaan seorang yang disangka/didakwa melakukan tindak pidana hingga ia diputus/divonis pengadilan. Di dalamnya juga mengatur hak-hak tersangka/terdakwa yang wajib dihormati dan dipenuhi oleh aparat penegak hukum yang memeriksa agar pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa berjalan secara adil dan berimbang;
Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut-sebut sebagai karya agung anak bangsa. KUHAP menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) staatblad tahun 1941 No. 1 Drt tahun 1951 peninggalan Belanda yang sudah tak relevan lagi. Selain itu, hal yang membuat bangga dari KUHAP, karena KUHAP tegas keberpihakannya pada penghormatan dan perlindungan hak tersangka/terdakwa agar diperlakukan secara adil (fair trial) dalam proses peradilan;
Bahwa dalam konteks hak atas bantuan hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjamin hak tersangka dan/atau terdakwa untuk didampingi penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 114 jo Pasal 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan:
“dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP”
Bahwa Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Bahwa melihat Pasal-Pasal tersebut di atas, kita tahu bahwa hak didampingi penasihat hukum itu wajib. Penyidik dan/atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahukan hak tersangka dan menunjuk penasihat hukum baginya agar ia didampingi ketika diperiksa sebagaimana maksud dalam Pasal 114 dan Pasal 56 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bahwa dengan demikian, maka bagi Tersangka dan/atau Terdakwa yang tidak didampingi Penasehat Hukum dalam setiap proses hukum yang dijalani, jelas-jelas merupakan indikasi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ini tidak dibenarkan, apalagi dalam proses hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Adalah sebuah kerancuan, kita berupaya menegakkan keadilan, namun melanggar Hak Asasi Manusia;
Bahwa dalam proses pemeriksaan pada proses penyidikan, PEMOHON Praperadilan tidak didampingi penasehat hukum, padahal pasal pidana yang disangkakan kepada PEMOHON Praperadilan adalalah pasal yang ancaman pidananya di atas 5 (lima) tahun atau lebih. Merujuk kepada ketentuan Pasal 114 dan Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut di atas, pendampingan oleh Penasehat Hukum adalah sebuah kewajiban, bukan opsional. Bukan kemauan Tersangka semata, namun perintah undang-undang. Mengingat pasal yang disangkakan dan/atau didakwakan kepada PEMOHON Praperadilan adalah pasal 363 ayat (1) ke 4e Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mana pasal-pasal tersebut diancam dengan ancaman hukuman pidana lima tahun atau lebih, maka sudah seharusnya Pemohon Praperadilan WAJIB didampingi Penasehat Hukum dalam tiap pemeriksaan pada seluruh tingkatan proses hukumnya. Namun dengan tidak didampingi oleh Penasehat Hukum dalam setiap pemeriksaan, maka Termohon Praperadilan nyata-nyata sudah melanggar ketentuan KUHAP tersebut, dan sudah seharusnya segala proses hokum terhadap Pemohon Praperadilan yang dilakukan oleh Termohon Praperadilan segera dihentikan;
Berita Acara Pemeriksaan Batal Demi Hukum Jika Tersangka Tidak Didampingi Penasihat Hukum.
Bahwa hak didampingi Penasihat Hukum itu “WAJIB”, artinya tak boleh tidak, dan penunjukannya bisa dilakukan oleh pejabat yang memeriksa di setiap tingkatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 114 Jo Pasal 56 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa bantuan hukum itu wajib disediakan (dengan menunjuk Penasihat Hukum) oleh pejabat yang memeriksa di setiap tingkat pemeriksaan;
Bahwa akibat hukum ketika tersangka tidak didampingi penasehat hukum, padahal pasal pidana yang didakwakan mengandung ancaman lima tahun atau lebih, maka Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah tidak sah sehigga batal demi hukum. Akibat hukum itu dapat diketahui dari beberapa putusan Mahkamah Agung (Yurisprudensi) yang menyatakan sebagai berikut:
a. Putusan Mahkamah Agung RI No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993yang pokoknya menyatakan, “apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.”
b. Putusan Mahkamah Agung RI dengan No 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998 yang pada pokoknya menyatakan “bahwa bila tak didampingi oleh penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan di dampingi penasihat hukum.”
c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 545 K/Pid.Sus/2011 yang menyatakan “Bahwa selama pemeriksaan Terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, sedangkan Berita Acara Penggeledahan dan Pernyataan tanggal 15 Desember 2009 ternyata telah dibuat oleh Pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut namun oleh petugas yang lain; Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa, Berita Acara Penggeledahan tidak sah dan cacat hukum sehingga surat Dakwaan Jaksa yang dibuat atas dasar Berita Acara tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum pula”;
Bahwa dasar atau landasan pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan. Dakwaan berlandaskan pada berita acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian. BAP itu haruslah benar dan sah. Salah satu indikator benar dan sahnya BAP adalah dipenuhinya hak-hak tersangka yaitu hak didampingi Penasihat Hukum pada saat diperiksa (hak atas bantuan hukum). Sehingga, jika hak tersebut tidak dipenuhi, maka BAP itu tidak sah pula. Demikian seterusnya. Maka dakwaan, tuntutan dan putusan yang dihasilkan atau didasarkan dari BAP yang tidak sah, haruslah pula dinyatakan tak sah;
Bahwa dalam konteks peradilan pidana, hak atas bantuan hukum atau hak tersangka/terdakwa didampingi penasihat hukum adalah wajib. Penyidik dan/atau pejabat yang memeriksa wajib memberitahu hak-hak tersangka/terdakwa dan menyediakan itu jika tersangka/terdakwa tidak mampu, seperti diatur dalam Pasal 144 jo Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Jika hak tersebut tidak dipenuhi maka dakwaan atau tuntutan dari penuntut umum menjadi tidak sah sehigga harus dinyatakan batal demi hukum, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut di atas;
Bahwa ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 4, menyatakan bahwa:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamana dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselengaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”;
Pasal ini menegaskan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan tujuan utama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka dari itu, segala tindak-tanduk anggota kepolisian harus menjunjung tinggi dan mendasarkan segala kerja kepada Hak Asasi Manusia dalam menjalankan tugasnya;
Maka berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) PEMOHON Praperadilan tidak sah secara hukum, dan jika Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut menjadi dasar untuk penetapan tersangka atau menjadi bahan pertimbangan hukum dalam perkara ini.
Maka sudah seharusnya segala akibat hukum yang ditimbulkannya dibatalkan. Karena hal ini akan menjadi preseden negatif dalam penegakan hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
H. PROSES PENYITAAN BARANG BUKTI TIDAK SESUAI DENGAN HUKUM;
Bahwa penyitaan adalah salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu pasal 1 angka 16 KUHAP, pasal 38 s/d 46 KUHAP, pasal 82 ayat (1) danayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, pasal 194 KUHAP, dan pasal 215 KUHAP;
Bahwa definisi Penyitaan telah dirumuskan dalam pasal 1 angka 16 KUHAP, yaitu:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”
Bahwa oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa yang bisa menjurus kepada pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, atau dapat dilaporkan kemudian setelah penyitaan dalam hal keadaan mendesak;
Bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses penyitaan bibit-bibit karet yang dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan, tidak melalui izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Bahwa TERMOHON Praperadilanjuga tidak membuat Berita Acara Penyitaan pada saat penyitaan berlangsung.
Fakta ini bertentangan dengan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana pasal 60 ayat (2) yang dengan menyatakan bahwa:
“Penyidik/Penyidik Pembantu yang melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas dan surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik dan membuat Berita Acara Penyitaan”;
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka tindakan penyitaan yang dilakukan TERMOHON Praperadilan yang tanpa dilengkapi dengan surat perintah tugas dan surat perintah penyitaan, serta tidak membuat Berita Acara Penyitaan, telah nyata-nyata melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Dari dan oleh karenanya, proses Penyitaan yang dilakukan TERMOHON Praperadilan harus dinyatakan batal dan tidak sah menurut hukum;
I. PEMOHON TIDAK DIBERIKAN KESEMPATAN MENGAJUKAN SAKSI MERINGANKAN;
Dalam proses peradilan Pidana saat ini, warga negara yang menjadi tersangka dan/atau terdakwa, tidak lagi dipandang sebagai Objek, tetapi sebagai Subjek yang mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan hukum. Dalam hukum pidana, Due Process of Law diartikan sebagai suatu proses hukum yang baik, benar, dan adil. Suatu proses hukum yang adil merupakan suatu upaya perlindungan paling dasar untuk menjamin para individu agar tidak dihukum secara tidak adil.
Bahwa proses hukum yang adil dan menjunjung hak asasi manusia terjadi apabila aparat penegak hukum yang terkait dengan proses tersebut tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang ada,akan tetapi juga harus memastikan diterapkannya hak-hak tersangka dan/atau terdakwa yang telah ditentukan dalam peraturan peundang-undangan.
Bahwa, Proses hukum adil juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses hukum yang adil tersebut, meskipun asas atau prinsip tersebut tidak merupakan aturan hukum positif. (Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: UNDIP, 1998, hal.5);
Bahwa salah satu azas yang harus dijunjung tinggi dalam proses hukum oleh seluruh penegak hukum adalah azas Audi et Alteram Partem. Menurut azas Audi et Alteram Partem, perlakuan yang sama dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan dalam mengajukan alat-alat bukti (burden proof), saksi, pembelaan, keberatan, dan lain-lain. Secara sederhana, Achmad Ali (1988:524) mendefinisikan Audi et Alteram Partem dengan azas kedudukan prosedual yang sama dari para pihak;
Bahwa selama proses pidana yang dijalani PEMOHON Praperadilan, TERMOHON Praperadilan tidak memberikan kesempatan kepada PEMOHON Praperadilan untuk mengajukan saksi yang meringankan bagi PEMOHON Praperadilan. Bahkan, proses hukum terhadap PEMOHON Praperadilan terkesan ditutupi dan tidak transparan Sehingga membuat PEMOHON Praperadilan tidak sempat lagi mengajukan saksi meringankan bagi PEMOHON Praperadilan sampai akhirnya PEMOHON Praperadilan ditangkap dan ditahan. Ini adalah sebuah kesewenang-wenangan yang dialami PEMOHON Praperadilan dalam menjalani proses hukum perkara ini;
Bahwa Hukum Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) menjamin setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh negara. (Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, lembar fakta Nomor 26 mengenai Kelompok Kerja tentang Penahanan Sewenang-wenang). Dalam hukum internasional, penahanan dianggap sewenang-wenang bila terjadi hal-hal berikut ini:
1. Tidak ada dasar hukum untuk membenarkan penahanan;
2. Penahanan dilakukan akibat dijalankannya hak-hak asasi secara sah (misalnya kebebasan berbicara atau berpendapat);
3. Situasi penahanannya melibatkan berbagai pelanggaran HAM yang demikian parah, sehingga penahanan tersebut dianggap sewenang-wenang (misalnya, bila tidak ada proses pemeriksaan, peradilan atau persidangan yang adil); (Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 8, pasal 9 (bagian ke 16, 1982), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi yang Diadopsi oleh Badan Pakta Hak Asasi Manusia, UN Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 8 (1994), Paragraph 2;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, sudah terjadi berbagai bentuk pelanggaran yang sangat serius terhadap hak-hak asasi PEMOHON Praperadilan yang dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan. Maka, sudah adil dan sepatutnya menurut hukum status tersangka, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan kepada PEMOHON Praperadilan dibatalkan;
J. PENETAPAN PEMOHON PRAPERADILAN SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Bahwa dalam uraian-uraian sebelumnya sudah cukup menjelaskan terhadap seluruh tindakan dan perlakuan TERMOHON Praperadilan kepada PEMOHON Praperadilan. Sebagai negara hukum apabila ada pihak yang mengabaikan hukum dan Hak Asasi Manusia, maka Negara wajib turun tangan untuk menyelesaikannya.
Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan :
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. larangan melampaui wewenang;
b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Selain itu dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
- ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
- dibuat sesuai prosedur; dan
- substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa penetapan tersangka terhadap PEMOHON Praperadilan dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-UndangNomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
- Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalamPasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah.
- Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalamPasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON Praperadilan kepada PEMOHON Praperadilan dengan prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan yang Mulia pada Pengadilan Negeri Menggala yang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara a quo dapat menjatuhkan putusan terhadap segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap PEMOHON Praperadilan dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hokum;
III. PETITUM
Berdasarkan uraian fakta-fakta yuridis di atas, PEMOHON Praperadilan memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Menggala Cq Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Permohonan Praperadilan ini agar berkenan memutus perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Diterima Permohonan Praperadilan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan TERMOHON Praperadilan dalam menetapkan PEMOHON Praperadilan sebagai Tersangka berdasarkan pasal 363 ayat (1) ke 4e KUHP tentang tindak pidana Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih oleh TERMOHON Praperadilan adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON Praperadilan berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PEMOHON Praperadilan oleh TERMOHON Praperadilan;
4. Memerintahkan kepada TERMOHON Praperadilan untuk menghentikan Penyidikan terhadap PEMOHON Praperadilan;
5. Menyatakan tidak sah, Penangkapan, Penahanan, dan Penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHONPraperadilan terhadap PEMOHON Praperadilan;
6. Memulihkan hak PEMOHON Praperadilan dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
7. Menghukum TERMOHON Praperadilan untuk membayar biaya perkara menurut hukum;
A t a u :
Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono).-- |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |